Sabtu, 20 September 2008

Met Lebaran

Puasa: Antara Rutinitas Biasa dan Rutinitas Luar Biasa
Tidak terasa hampir sebulan lamanya puasa dijalani, dan dalam hitungan jari kita akan menjumpai hari raya idul fitri. Entah telah berapa kali kita menjalani ibadah puasa selama umur kita, tentunya masing-masing dari kita lebih bisa menghitungnya. Taruhlah kita saat ini berusia 20 tahun, jika amal ibadah kita dihitung sejak akil baligh, maka kira-kira sepuluh kali telah melewati bulan Ramadhan. Dari hitungan sepuluh itu sudahkah ada perubahan kualitas spiritual kita, apalagi jika usia telah mencapai 60 tahun.
Dari ramadhan yang telah dilewati ke ramadhan yang sedang dijalani atau jika memungkinkan ramadhan tahun depan yang akan dihadapi kesan apa yang diperoleh. Hal yang biasa-biasa saja atau dialami peningkatan kualitas spiritual yang luar biasa. Tidak perlulah kita jauh terbang ke masa lalu untuk mengingat kembali perjalanan ramadhan yang telah dijalani apalagi ramadhan mendatang yang entah apakah kita masih berkesempatan untuk menemuinya. Saat ini saja, ramadhan yang sedang kita lakoni sekarang ini, sejak awal hingga hari ini amal kebajikan apa yang bisa kita banggakan untuk menghadap Sang Ilahi. Hal ini bukan dimaksudkan sebagai bagian dari riya’ dan takabbur. Tapi bagian dari proses berkaca diri demi peningkatan kualitas spiritual kita.
Dari menit ke menit, jam ke jam, hari berganti hari, pekan demi pekan, hingga nantinya genap sebulan. Kesempatan yang terbentang untuk uji latih kesabaran dan aneka riang pelaksanaan ibadah sudahkah tertanam kuat dalam diri kita. Terlebih dalam rentang sebulan ini ada satu malam yang teramat istimewa, satu malam yang penuh kemuliaan dimana malaikat-malaikat dan sang ruhul amin turun ke bumi atas seizin Sang Ilahi menebar rahmat hingga fajar menjelang. Jika kita menjumpai malam ini dengan bertadabbur dan beribadah kepada-Nya ganjaran tak ternilai dengan materi akan diterimanya, Subhaanallaah…
Ketika puasa telah dipungkasi dengan melaksanakan shalat ied berjamaah, maka telah usailah ramadhan kita tahun ini. Namun hal ini belum paripurna jika kita belum bersilaturrahmi saling memberi dan meminta maaf kepada sanak saudara, kerabat, handai taulan, sahabat dan semua orang, demi menambal kembali hubungan yang sempat retak baik yang terdeteksi maupun yang tak teridentifikasi.
Ok guys… Mohon Maaf terdalam aku sampaikan kepada kalian semua baik yang kukenal baik maupun belum kukenal baik, atas semua kesalahan-kesalahan yang kuperbuat baik yang dibuat-buat ataupun yang ngga’ dibuat-buat, yang tersembul di otak, terucap lisan, terpendam hati ataupun yang terayun tangan, yang telah melukai fisik ataupun perasaan. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H semoga Allah Swt. senantiasa bersama kita… Aamien Yaa Rabb Al- ‘Aalamiin…

Selasa, 02 September 2008

Kapan Kawin?

Wanita Shalihah = Wanita Tepat Sasaran
Komunitas SQH-05, suka sekali ngeributin yang namanya “kapan merit?”, latah sebuah iklan rokok yang tenar dengan jargonnya “kapan kawin?”. Ikut jawaban yang diberikan sang tokoh iklan: “May!” yang dimaksud tentu saja bukan nama bulan yang ditunjuk, akan tetapi sebuah guyonan yang dilanjutkan dengan kalimat “may be yes-may be no”. Kira-kira kalo diterjemahkan dengan bebas “mbuh kapan!”. Tersimpan sebuah kecemasan kapan ya kira-kira bisa kawin?. Jika meneladani tokoh yang harus diteladani umat Islam yakni Kanjeng Nabi Muhammad Saw. beliau manikah di usia 25 tahun, di usia inilah jika seseorang telah mencapainya apalagi yang telah jauh melampauinya akan merasa kikuk jika belum juga menikah. Kikuk bisa karena faktor dari diri sendiri terlebih lagi kikuk dengan “sindiran” pihak luar. Belum lagi dengan orang-orang yang mencoba memapankan kaedah: “kamu dululah kan lebih tua”, “ente dulu lah kan lebih senior”, “koe disik lah kan wis mapan”, “jenengan dulu tho mas kan wis penak uripe”. “Jadohku sayang dimanakah aku bisa menemukanmu?”
Lebih terbebani lagi jika seseorang telah dipandang matang, baik secara mental maupun karir. Maka desakan untuk menikah itu akan semakin gencar, baik itu semangat dari diri pribadinya apalagi dari orang lain yang melihat bahwa orang tersebut telah mapan. Namun sekali lagi entah karena faktor x apa yang membuat orang tersebut lambat menikah. Sekali lagi Kanjeng Nabi memberikan panduan kepada umatnya dalam memilih pasangan hidup, yakni jika seseorang ingin memilih pasangan maka setidaknya lihatlah din (agamanya), nasab (keturunan), jamal (kerupawanan), dan mal (harta)nya. Orang jawa bilang bibit, bobot dan bebetnya. Tentu bukan perkara mudah untuk menemukan orang yang dalam dirinya terkumpul semua kualifikasi seperti yang telah dikemukakan itu. Bahkan dapat dikategorikan naif jika ia lambat menikah karena menghendaki pasangan yang sempurna. “Ini dunia bung! Gak ada yang sempurna! Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan!” “Ayo tangi-tangi! Meleko ojo ngimpi terus!”
Syahdan, dalam sebuah pertemuan kuliah, tentu teman-teman SQH-05 ingat. Seorang dosen memberikan sebuah formulasi terhadap ‘amal shaleh’. Sang dosen mengatakan bahwa yang namanya amal saleh itu adalah amal perbuatan yang tepat sasaran, jika belum tepat sasaran maka belum bisa dibilang amal saleh. Semacam terhadap orang yang lapar maka diberikan makan, orang yang butuh pekerjaan maka diberikan pekerjaan, orang yang belum menemukan jodoh maka dipertemukan jodohnya, itu yang namanya tepat sasaran. Mengekor dengan formula tersebut, maka siapa sih yang dimaksud dengan wanita shalihah? Tentu jawabnya wanita yang tepat sasaran. Terlalu abstrak bukan? “Ya iyalah masa’ ya iya dong!” Setidaknya rumusan tepat sasaran itu terbagi menjadi dua yakni phisically dan personality. Entah benar tidaknya, katanya jelek itu mutlak, rupawan itu relatif. Atau jika dibalik bahwa rupawan itu mutlak tapi yang namanya jelek itu relatif, ini masalah fisik lho.. terserah itu sebuah pilihan. Ada yang bilang rupa pasangan itu sesuatu yang cukup penting setidaknya gak malu-maluin buat diajak kondangan. Ada juga yang bilang masalah rupa itu bukan sesuatu yang substansial yang penting hatinya, lagi-lagi masalah pilihan. Tapi kalau bisa sih yang rupawan wajahnya sekaligus hatinya (Allahumma yassirli amri… amien..). Personality (kepribadian) menempati posisi yang signifikan dalam memilih pasangan. Di mana dalam mengarungi samudera kehidupan dibutuhkan saling topang menopang antara yang satu terhadap yang lainnya. Pasang surutnya samudera sama halnya dengan pasang surutnya kehidupan, lurusnya rel kereta merupakan hal yang menipu pandangan. Di sinilah letak pentingnya arti pasangan hidup. Yang tidak mengenal lelah memompa semangat ketika satu pihak terasa gontai, tidak akan menutup telinga ketika belahan jiwa tertimpa musibah, yang selalu mengisi kekurangan yang satu terhadap yang lainnya. Yang membuat sebuah ikatan kuat yang mulia, sebuah mitsaq ghalizha, demi menggapai kedamaian hidup dan saling mengasihi satu sama lain, yang dilandasi sebuah keinginan mulia untuk mengharap ridha ilahi.
Allahumma istajib du’a-ana wa yassir umurana, rabbana aatinaa fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannaar.. aamiin ya rabbal ‘aalamiin…

Es Tiga!

Es Tiga!
Ungkapan di atas bukan dimaksud untuk memesan tiga gelas es dawet atau tiga bongkah es batu. S3 adalah sebuah jenjang pendidikan formal tertinggi yang membutuhkan kesiapan akal, mental dan material yang memadai. Seorang yang telah berkualifikasi S3 harus berbeda pola fikir dan cara pandangnya dengan S2 apalagi yang hanya S1. Seorang yang telah lulus S3 maka akan digelari dengan DR, seorang doktor! Sebuah prestasi yang melampaui arti prestise. Idealitas-idealitas pemikiran terkumpul untuk memuwujudkan realitas ideal yang ada di sekitarnya. Banyak ide-ide cemerlang yang harus digulirkan oleh orang yang telah menyandang gelar Doktor demi terciptanya realitas ideal tadi. Tulisan-tulisan yang berbentuk buku ataupun yang tersebar di jurnal-jurnal baik yang kelas kacangan sampai yang kaliber internasional harus dibuat, doktor getu loh! Sebagai ujung tombak dalam memanaskan gairah intelektual, seorang yang memiliki ijazah S3 harus mengobarkan semangat kemajuan intelektual!
Untuk mencapai itu bukan sesuatu yang sifatnya ready to eat layaknya merebus mie untuk bisa langsung dimakan atau tinggal duduk diam dibangku yang disediakan di restoran setelah memesan kemudian makanan siap santap datang. Maaf-maaf saja ini bukan sesuatu yang instan bung! Butuh persiapan matang yang mengorbankan banyak hal untuk mencapai idealitas itu. Fenomena yang berkembang saat ini banyak sekali doktor-doktor yang jebol dari perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ternama maupun yang tidak bernama. Mereka lebih mengutamakan prestise daripada prestasi. Lebih gagah kalau di depan namanya tertulis DR. orang awam tentu akan memandang wah terhadap hal itu. “Malu ah kalo cuman begitu sih!”
Siapa sih yang gak kepingin kehidupan ini berjalan lebih baik, tertalu lama kita itu dijajah, terutama dijajah oleh kebodohan, keegoisan dan ketamakan yang sering kali memasung kita, terutama terpasungnya otak kita akan silaunya materi. Ayo bangkit Indonesia! Ayo bangkit doktor-doktor! Ayo bangkit calon-calon doktor! Kita Bisa!
Ya Allah kami memohon kepadaMu berkahilah ilmu yang kami peroleh, amien..